ALLAH SELALU ONLINE

Oleh: Siti Mulyani
Aku tak sanggup jika aku tak pulang di liburan mid semester ini. Kataku kepada rekan kerja sebelum kami memutuskan tanggal untuk liburan bersama. Aku mengusulkan agar liburan dilaksanakan langsung pasca pembagian raport mid semester. Akhirnya usulanku disetujui. Kami memilih area puncak sebagai destinasi wisata. Saat itu sudah memasuki awal Maret. Kami berangkat dengan hati yang senantiasa meminta perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari pandemik covid-19 yang sudah dikonfirmasi kasusnya di Indonesia pada bulan lalu.
Tempat wisata di daerah puncak saat itu masih tergolong ramai, hotel masih menerima tamu yang akan menginap, tempat makan favorit masih padat, bahkan di malam harinya kami masih bisa mengunjungi kafe yang juga ramai pengunjung. Wajar saja pemandangan seperti itu masih bisa kusaksikan, karena kasus yang terkonfirmasi letaknya cukup jauh dari lokasi yang kami kunjungi, meski segala sesuatu tidak ada yang tidak mungkin terjadi jika sudah atas kehendak-Nya. Pemerintah pusat maupun daerah, saat itu memang belum melayangkan protokol pembatasan kunjungan atau sejenisnya.
Pulang dari rihlah, aku berlibur di rumah. Belum tiba di rumah, badanku terasa aneh, dingin tapi panas, mungkin demam karena peralihan cuaca. Domisili yang baru saja kutinggalkan untuk berlibur, cuacanya setiap hari sejuk, karena memang daerah pegunungan. Sedangkan saat itu aku memasuki ibukota yang panasnya gak ada ampun. Aku berusaha berpikir positif, husnudzon bahwa ini adalah demam biasa, aku pasti sembuh. Sepanjang perjalanan, aku memakai masker, berusaha semaksimal mungkin menjaga diri. Alhamdulillah, aku sembuh di hari ketiga. 
Esoknya aku ke kampus, ada yang mesti kuurus. Bahagia sekali merasakan suasana kampus, masih ramai. Mahasiswa masih berjejer di teras fakultas untuk berbagai kebutuhannya, ada yang fokus pada gadget-nya, ada yang fokus pada kertas yang sedang digenggamnya sambil komat-kamit membaca teks yang pastinya itu bukan mantra. Di sudut kampus, printer masih ramai antrian. Penjaganya masih sama dengan penjaga saat aku masih mahasiswa, enam tahun yang lalu. Kukira, beliau masih ingat, ternyata sudah lupa, malah beliau mengira bahwa aku adalah seorang dosen. Dan di teras masjid, kesejukan bukan hanya terasa dari tiupan angin segar yang berhembus, namun sejuk rasanya mendengar obrolan anak muda tentang kajian Islam. Urusan selesai, liburanku berlanjut. Namun aku memilih untuk menetap di rumah. Nafsu makanku belum normal, aku belum sembuh total.
Hari demi hari kulalui di depan layar, kalimat demi kalimat tersebar dengan berbagai rupa di seluruh jejaring sosial tentang covid-19 yang semakin meluas ditandai dengan kasus yang semakin hari semakin bertambah.
Tidak dengan hari Ahad pekan itu, aku terpaksa bangun lebih awal, agar bisa mandi dan bersiap-siap lebih cepat, karena di hari itu aku ada dua agenda; janji dengan teman untuk menghadiri pernikahan adik tingkat saat kuliah, dan kembali ke rutinitas semula, ke kota yang cuacanya sedingin kulkas. Beruntung, pakaian dan barang yang akan kubawa sudah rapi. Jadi tidak membutuhkan waktu lebih lama untuk bersiap-siap. Aku tidak melihat HP kecuali untuk menghubungi temanku, melihat jam dan menghubungi pihak travel yang sudah kupesan. Kondangan selesai, aku upload foto, tidak lama, notifikasiku ramai.
Ternyata ada kabar baru dari Mendikbud, beliau meminta para pelajar dari seluruh tingkatan untuk melaksanakan pembelajaran di rumah. Apa boleh buat, aku sudah dalam perjalanan. Aku tetap melanjutkan perjalanan meski aku juga berurusan dengan pelajar dan pembelajarannya. Ya, aku pengajar yang masih belajar. Sistem pembelajaran kami mengikuti sistem pembelajaran yang dianjurkan oleh Mendikbud, yaitu melalui online
Jadwal dibagikan, kulihat jamku lumayan berkurang, saat itu aku sedikit lega karena pikirku, aku akan memiliki waktu luang lebih banyak. Setelah dijalankan, ternyata jauh dari dugaan. Durasi pembelajaran online secara resmi memang dipangkas, namun setelah itu kami masih harus online lebih dari durasi pembelajaran tatap muka, entah berapa kali lipat, aku tidak menghitungnya.
Sebelum mengajar, kami dituntut untuk menyiapkan materi, saya pribadi menyiapkannya dengan berbagai cara, tentunya melalui jaringan. Di saat jadwal mengajar, kami juga harus tetap online, memastikan mereka paham akan materi yang kami sampaikan dalam berbagai bentuk. Waktu habis, pertanyaan belum tentu habis.
Bersyukur, saya punya lingkungan yang baik, anak-anak yang kami didik adalah anak yang sangat pandai memanfaatkan waktu. Antusias mereka untuk menguasai materi sangat tinggi, mereka rajin bertanya; menanyakan segala apa yang mereka rasa itu mengganjal dalam pemahamannya. Tugas kami meluruskan, memahamkan, membuka pikiran mereka agar lebih luas. Kami memang harus ikhlas melayani mereka seolah kami sedang tatap muka. Lelah, memang. Niatkan saja lillah.
Saya yakin, bukan hanya saya saja yang mengalami hal serupa. Semua pengajar yang mengikuti aturan pemerintah daerah maupun pusatnya, maka dia akan merasakan hal yang sama. Bahkan bukan hanya pengajar, bisa jadi hampir semua kita yang terpaksa untuk di rumah aja, merasa bahwa tatap muka itu lebih asik. Tidak semua kita tinggal di kota, tidak semua kita tinggal di rumah yang terpasang Wi-Fi, tidak semua kita memiliki budget yang cukup untuk online. Tidak semua kita bisa online setiap waktu saat di rumah aja.
Namun sadarkah kita, bahwa kita punya Allah yang selalu online untuk hamba-Nya dengan segala sifat kemahaan-Nya. Allah mendengarkan doa yang dilangitkan oleh seluruh umat, seluruh manusia, bahkan seluruh makhluk yang hidup di bumi-Nya. Semuanya bertasbih kepada-Nya, dengan caranya masing-masing. Setiap waktu, Allah memberikan segala apa yang dibutuhkan oleh makhluk-Nya, jika menurut-Nya itu adalah yang terbaik bagi hamba-Nya. Bahkan dalam hal memberi di dunia, Ia tidak memilah siapa saja hamba-Nya yang patut diberi. Bahkan Dia memberi kepada hamba yang tidak menghambakan diri terhadap-Nya. Allah online untuk hamba-Nya dalam setiap kondisi; sedih, bahagia, gagal, berhasil, dan kondisi-kondisi lain yang sangat tidak mungkin untuk kita sebutkan satu per satu di sini.
Allah selalu online untuk kita, jika kita mau mendekat kepada-Nya, maka pertolongan-Nya in sya Allah juga semakin cepat. Kita memang tidak bisa menyamakan Allah dengan sesuatu apapun. Kita hamba-Nya, dengan adanya pandemi ini, Dia mengajarkan kita agar menjadi hamba yang senantiasa mengingat-Nya, melibatkan-Nya dalam setiap urusan duniawi, sebagaimana seorang pelajar yang rajin bertanya kepada gurunya yang kemudian mendapatkan nilai yang memuaskan setelah ujian selesai. Pun kita yang semoga dengan semakin dekatnya kita terhadap-Nya dalam melalui pandemi ini, semoga Ia memberikan pahala atas ridha-Nya, menghapuskan segala dosa kita yang telah lalu, memasukkan kita ke dalam golongan hamba-Nya yang shalih.
Online-nya manusia sangat terbatas, namun online-nya Allah tidak ada batasnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ziaroh ke Makam Raden Ayu Siti Khadijah di Bali

Bagaimana Penulisan Minal 'Aidin yang Benar?

Manuskrip "Bahjatul 'Ulum" Warisan Budaya Bangsa