Urgensi Peran Keluarga dalam Mendidik Anak



oleh Siti Mulyani

            Dijelaskan dalam kitab "Ruuhut-Tarbiyati Wat-Ta'liimi" yang diringkas dari Muhammad 'Athiyyatul Abrasyi, bahwa pendidikan merupakan suatu proses pemengaruhan terhadap anak dengan segala bentuk pengaruh yang sengaja dipilih guna membantu anak dalam menumbuhkembangkan fisik, akal, serta akhlaknya. Salah satu pengaruh yang sengaja dipilih untuk menumbuhkembangkan ketiga objek tesrsebut adalah al-bii-ah al-manziliyyah (lingkungan rumah). Yang mana telah kita ketahui bahwa di dalam rumah pasti terdapat sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Masing-masing dari setiap anggota keluarga itu memiliki peran tersendiri. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, juga sebagai pendidik serta pelindung. Sedangkan ibu berperan sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik; yang biasanya lebih banyak berhadapan langsung dengan anak. Adapun peran anak sebagai anggota keluarga terendah ialah mematuhi segala peraturan yang telah ditentukan di dalam rumah dan disepakati oleh ayah dan ibunya. Sedangkan hak seorang anak adalah mendapatkan pendidikan yang layak dari ayah dan ibunya sebagai anggota keluarga yang sangat berperan penting dalam sebuah keluarga.
Jika kita perhatikan kalimat sebelumnya, terdapat asumsi bahwa seorang ibu lebih banyak berhadapan langsung dengan anak. Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa karakter seorang anak sangat berkegantungan pada karakter seorang ibu. Maka, selayaknya seorang ibu harus memiliki karakter yang mulia untuk mendidik dan mengasuh anaknya. Karena Hafizh Ibrahim bernadzom dalam syairnya; "Ibu adalah madrasah, jika kau siapkan ia dengan baik, maka kau telah menyiapkan generasi harapan. Ibu adalah taman, jika kau tata dan kau rawat, maka ia akan menjadi indah menghijau hamparan. Ibu adalah guru para pendidik ulung yang pengaruhnya menyebari segala penjuru dunia peradaban." (diterjemahkan oleh: Abrar Rifai dalam kompasiana.com)
Namun, bukan berarti seorang ayah terlepas dari tanggungjawab untuk mendidik anak. Seorang ayah masih menyandang status sebagai kepala keluarga sekaligus pendidik anak di rumahnya, ia mendidik hal-hal yang belum diajarkan oleh seorang ibu, seperti hal-hal yang lebih dominan tehadap urusan lelaki yaitu kepemimpinan. Hendaknya seorang anak dididik untuk menjadi seorang pemimpin sejak ia masih dini, agar ia terbiasa untuk bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang ia lakukan. Karena pada hakikatnya, setiap manusia yang dilahirkan di bumi ini sengaja diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi seorang khalifah (pemimpin). Sebagaimana yang diungkapkan oleh M. Quraisy Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah yang ditayangkan di sebuah stasiun televisi pada tahun 2006 silam bahwa khalifah berarti orang yang menggantikan, seorang anak harus menggantikan ayahnya untuk bertanggungjawab terhadap anggota keluarga yang lainnya ketika ayahnya telah tiada. Beliau juga menegaskan bahwa tugas khalifah yang tercantum dalam Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 30 itu ialah memelihara, membina, dan mengantar sesuatu menuju tujuan diciptakannya. Seorang ayah yang menyandang status kepala keluarga, selain berkewajiban mencari nafkah juga bertugas memelihara, membina, dan mengantar anak menuju tujuan diciptakannya.
            Dengan kata lain, seorang ayah dan ibu harus mengetahui bagaimana cara mendidik anak dan apa saja yang harus diajarkan kepada anak. Dan sebagai seorang muslim, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk meneladani apa yang dilakukan oleh Rasulullah, maka berikut ini merupakan beberapa metode mendidik anak ala Rasulullah saw: menasihati dan mengajari anak saat berjalan bersama, menarik perhatian anak dengan ucapan yang lembut, menghargai mainan anak dan jangan melarangnya bermain, tidak membubarkan anak yang sedang bermain, tidak memisahkan anak dari keluarganya, tidak mencela anak, mengajarkan akhlak mulia terhadap anak, mendo'akan kebaikan, menghindari do'a keburukan, meminta izin berkenaan dengan hak anak, mengajari anak menyimpan rahasia, makan bersama anak sambil memberikan pengarahan dan meluruskan kekeliruan mereka, berlaku adil kepada anak tanpa membedakan laki-laki atau perempuan, melerai anak yang terlibat perkelahian, gali potensi mereka, rangsang dengan hadiah, menghibur anak yatim dan menangis karena mereka, tidak merampas hak anak yatim, melarang bermain saat setan berkeliaran (ketika waktu magrib), mengajari azan dan shalat, mengajari anak sopan santun dan keberanian, menjadikan anak yang lebih muda sebagai imam shalat dan pemimpin dalam perjalanan.
Dengan demikian, jika masing-masing anggota keluarga mengetahui dan melaksanakan  perannya dalam keluarga, maka akan muncul kebahagiaan dan keharmonisan yang dirasakan oleh masing-masing anggota keluarga. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kondisi perkembangan anak, baik dari segi fisik, akal, maupun akhlaknya.
Sebaliknya, jika salah satu anggota keluarga lalai terhadap perannya dalam sebuah keluarga, maka akan ada anggota keluarga lainnya yang dirugikan. Contohnya, seorang ibu yang berperan sebagai pengasuh dan pendidik anak, apabila ia menitipkan anaknya kepada pengasuh bayaran karena waktu yang menjadi hak anak ia alihkan kepada sebuah karir, maka anak itu akan tercetak dibawah didikan pengasuh bayaran. Bukan berarti pengasuh bayaran tidak dapat merangsang pertumbuhan anak, akan tetapi seorang anak akan lebih terbuka terhadap pengasuhnya daripada terhadap ibunya sendiri. Hal ini akan mengurangi intensitas komunikasi antara anak dengan ibunya. Dan kurangnya komunikasi antar anggota keluarga akan menyebabkan broken home. Selain itu, hal tersebut juga menunjukkan sikap seorang ibu yang kurang memiliki rasa tanggungjawab terhadap perannya sebagai seorang pengasuh sekaligus pendidik anak.
Contoh lain dari seorang ayah yang berperan sebagai pencari nafkah, apabila ia berputus asa dalam mencari nafkah lalu pergi meninggalkan istri dan anaknya tanpa memberi kabar, maka akan muncul anak yang mencari perhatian lebih dari orang yang bukan menjadi bagian dari keluarganya. Hal ini banyak ditemukan di berbagai sekolah. Anak yang hidup dalam lingkungan keluarga yang tidak utuh, biasanya melakukan hal-hal diluar batas kewajaran di sekolahnya. Sehingga, anak itu tidak mampu fokus belajar. Tapi justru dia memfokuskan diri dalam mencari perhatian guru-gurunya. Apabila seorang anak sudah bersikap demikian, maka tidak akan ada hasil belajar yang baik. Karena, Drs. Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya "Psikologi Belajar" (2011 : 236) mengemukakan bahwa salah satu faktor ekstern yang tidak mendukung aktivitas belajar anak adalah ketidakharmonisan hubungan antara ayah dan ibu, serta rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
Sebagaimana dikemukakan oleh para ahli psikologi yang tercantum dalam sebuah artikel bahwa masalah yang akan ditimbulkan dari pertengkaran dan percekcokan rumah tangga yang rumit adalah masalah psikologis anak, seperti trauma. Trauma yang dialami oleh anak berusia dibawah 7 tahun akan menyelubungi pikirannya dan menimbulkan mental block, hal ini akan menghambat perkembangannya pada usia 20 tahun. Dalam perjalanan hidupnya, ia akan menjadi pribadi yang sulit diatur dan tidak dapat diajak kerja sama, menjadi egois, pemberontak dan tidak terbuka kepada orang terdekatnya sekalipun.
Oleh karena itu, mari kita mainkan peran kita dalam sebuah keluarga. Karena setiap kita adalah anggota keluarga, dan setiap anggota keluarga tidak terlepas dari perannya dalam sebuah keluarga. Terutama bagi kita yang sudah menjadi seorang ayah dan ibu, perlu disadari bahwa kita memiliki peran tertinggi dalam mendidik anak. Keharmonisan yang diciptakan dalam sebuah keluarga akan mencetak anak-anak yang cemerlang sebagai generasi bangsa, sedangkan keributan dalam sebuah keluarga akan menciptakan anak-anak yang tidak memiliki pemikiran luas untuk mengembangkan potensi dirinya, terlebih mengembangkan potensi negeri ini agar menjadi negeri yang maju.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ziaroh ke Makam Raden Ayu Siti Khadijah di Bali

Bagaimana Penulisan Minal 'Aidin yang Benar?

Manuskrip "Bahjatul 'Ulum" Warisan Budaya Bangsa