Ada Apa di Balik Dilan?



oleh Siti Mulyani

Dilan memang hebat, namanya berhasil mengguncangkan media. Siapa yang tak kenal dengan Dilan, anak remaja 90-an yang kisahnya tertulis dalam novel karya Pidi Baiq, 25 Januari ini novel itu diangkat ke dunia perfilman. Banyak komentar miring sebagai tanggapan atas film ini, khususnya komentar dari para aktifis muslim.
Saya muslim, saya menonton film ini justru di malam hari pertama film ini tayang. Awalnya, saya memang ragu, karena jujur, saya bukan penikmat novel, saya belum membaca novelnya, yang saya dengar dari pembaca, kisah Dilan ini hanya menceritakan romantisme anak remaja SMA. Saya memang sempat berfikir, apakah saya berdosa jika menonton film ini, karena secara tidak langsung, saya mendukung maraknya perzinahan, namun kembali saya arahkan niat hati ini, saya menonton hanya untuk mengisi kekosongan saja, kebetulan hari itu hari libur, saya menonton sebagai alumni sastra yang perlu tahu perkembangan dunia sastra yang sedang fenomenal, itu saja. Lagi pula, saya menonton tidak berduaan dengan teman lelaki, saya pikir ini tidak bertentangan dengan agama.
Jeng jeng, film dimulai, kata-kata yang dipilih oleh Dilan ternyata sangat menggelitik, membuat saya dan seluruh penonton lainnya tertawa berbahak-bahak. Ditambah lagi dengan beberapa kalimat yang digunakan dalam bahasa daerah Bandung, yaitu bahasa Sunda. Orang kota bertutur logat Sunda, kebayang kan, gimana... Belum lagi saya yang notabene asli Sunda, mengerti betul makna yang diucapkan dari kalimat itu, walhasil, tambah ramailah seisi bioskop.
Bagi anak remaja yang seusianya, mereka pasti baper sampai meleleh-leleh karena kata-kata Dilan, hal ini dibetulkan, karena teman saya pun demikian bapernya, tak heran jika banyak orang bilang 'jangan nonton Dilan sendirian'. Tapi bagi saya yang sudah kenyang menelan asem dan asinnya cinta, gombalan Dilan terhadap Milea menjadi hal yang biasa, tertawa saya tidak sampai pada tingkat baper. Justru yang membuat saya baper adalah pasangan suami-istri yang duduk tepat di samping kanan-kiri kami, saya dan teman perempuan saya diapit oleh mereka.
Lanjut, fokus pada film, meski kata-katanya membuat perempuan meleleh, namun di balik itu ternyata sosok Dilan malah justru sebaliknya, ia adalah Panglima Tempur di pasukan geng motornya. Sebagai seorang Panglima, tentunya Dilan memiliki jiwa ketegasan yang lebih dibanding laki-laki lain. Sifat tegas ini adalah warisan dari Sang Ayah yang merupakan seorang TNI. Ketegasannya juga terbukti saat dia mempertahankan prinsipnya; baginya, ketegasan bukanlah kekasaran.
Suatu pagi, saat upacara berlangsung, Dilan terciduk pindah dari barisannya oleh Pak Suripto, dengan sigap, Pak Suripto menarik Dilan secara kasar agar ia kembali ke barisannya. Namun, apa yang terjadi? Dilan melawan, tidak terima diperlakukan kasar, meski ia mengaku bersalah, namun ia mengungkapkan bahwa seorang guru tidak layak berlaku kasar terhadap muridnya, seorang guru harusnya mengayomi, karena ibunya guru, kakak perempuannya pun guru. Guru di sekolahnya, akhirnya mengerti mengapa dia berani melawan. Kendati demikian, konsekuensi tetap dia terima, berupa skors dari sekolah selama beberapa waktu. Ibunya yang juga seorang guru, hadir ke sekolahnya, memenuhi panggilan gurunya atas konsekuensi yang diterima. Di sinilah Milea bertemu dengan calon mertuanya.
Milea bilang, kata Ibu Dilan, kita tidak bisa menyalahkan kenakalan anak se-usia Dilan. Hal ini memang jelas terlihat, tak ada raut marah sedikit pun yang terlintas pada paras cantik Ibu Dilan. Ia justru bercerita beberapa hal bersama Milea tentang kekonyolan Dilan dalam perjalanan menuju rumah Milea. Sampai kedua wanita cantik ini pun menjalin hubungan yang cukup hangat.
Dari Ibu Dilan, kita bisa belajar bagaimana kita menjadi seorang ibu, menghadapi kenakalan remaja di usianya.
Dari Pak Suripto, kita juga bisa belajar bagaimana cara seorang guru yang baik menegur siswanya ketika melanggar.
Dan dari seorang Dilan, kita bisa belajar bagaimana cara mencintai ilmu secara sembunyi, hal ini terbukti dengan banyaknya buku yang sudah dia baca, melebihi para remaja se-usianya. Bahkan, sekilas saya lihat, ada buku-buku keagamaan di atas lemari di dalam kamarnya ketika Dilan tertidur di ruang tengah, kemudian Sang Ibu secara diam-diam mengajak Milea untuk melihat kamarnya.
Dengan demikian, menurut saya, film Dilan ini masih mengandung nilai positif yang bisa kita ambil bahkan terapkan dalam kehidupan nyata. Bahkan salah satu kerabat saya WFS dalam sebuah komunitas, berkomentar; 'Dilan ini berangkat dari standar mindset berpikir yang berbeda, tidak masuk jika ditimbang dengan rujukan Islam'. Adapun untuk hal-hal negatif lainnya yang bertentangan dengan norma agama ataupun negara, seperti tawuran dan pacaran, saya rasa kita sebagai muslim dewasa sudah tahu bahwa hal itu tidak patut ditiru. Kalaupun sekiranya anak usia di bawah umur ingin menontonnya juga, maka tugas kita sebagai orang dewasa mengawasinya.
Tangerang Selatan, 27 Januari 2018 - 19:45 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ziaroh ke Makam Raden Ayu Siti Khadijah di Bali

Bagaimana Penulisan Minal 'Aidin yang Benar?

Manuskrip "Bahjatul 'Ulum" Warisan Budaya Bangsa