Menjadi Mahasiswa Bidikmisi
Kuliah adalah impian setiap orang, impian setiap
pelajar dari berbagai kalangan. Saya adalah salah satu orang yang terlahir dari
kalangan yang bisa dikatakan menengah ke bawah. Orang tua saya sangat
memikirkan biaya kuliah ketika saya sudah duduk di bangku SLTA. Sedangkan saya
dengan ambisi yang tinggi, terus berusaha mempertahankan prestasi saya selama
di sekolah tempat saya belajar, berharap dengan prestasi tersebut saya bisa
kuliah beasiswa. Bersyukur, saya memilih sekolah yang tepat. Sekolah yang bukan
hanya memberikan saya ilmu pengetahuan semata, tetapi juga banyak hal lain yang
tidak saya duga sebelumnya.
Ya, saya sekolah di pondok pesantren modern.
Pelajaran yang harus dilahap di sana mayoritas bermodalkan hafalan. Beruntung
Allah menganugerahkan saya kemudahan dalam menghafal dan memahami pelajaran
yang jumlahnya tidak kalah banyak dengan pelajaran di sekolah non-pesantren.
Berkah dari kemudahan itu sangat melimpah ruah; di semester pertama saya
mendapatkan beasiswa bebas biaya SPP karena dinobatkan sebagai bintang pelajar
(juara umum), saat itu hanya ada satu bintang pelajar terpilih. Di semester
kedua, pertolongan Allah datang kembali, lagi-lagi dari jalan yang sama sekali
tidak saya sangka sebelumnya. Bintang pelajar yang dinobatkan pada semester itu
ditambah menjadi tiga orang, saya mendapatkan yang ketiga. Alhamdulillah,
beasiswa masih bertahan. Semester berikutnya, pelajaran semakin sulit, saingan
semakin berat, saya hanya bisa mempertahankan juara kelas saja.
Saat itu saya hampir putus asa, apakah impian
saya mendapatkan beasiswa kuliah akan tercapai atau tidak. Baru di tahun kedua
saja, sudah tidak bisa mempertahankan prestasi. Murung, pasti. Kecewa, ada.
Namun tetap saya jalani sambil terus memupuk semangat agar prestasi kembali
meningkat. Di sana saya membuktikan satu kalimat hafalan saya yang artinya
barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dapatlah ia. Saya bersungguh-sungguh
untuk mempertahankan bahkan meningkatkan prestasi dengan semangat yang terus
dipupuk, alhamdulillah Allah berikan saya kesempatan untuk mendapatkannya
kembali di semester lima. Tanpa diduga, saya mendapatkan beasiswa sekolah dari
penobatan pelajar dengan kategori pelajar berdedikasi terbaik.
Idealnya, memang sekolah di tingkat SLTA itu
hanya sampai enam semester. Namun nyatanya, ada yang lebih singkat bahkan lebih
panjang dari itu. Saya, mengalami masa sekolah yang lebih panjang dari enam
semester. Total semester yang saya jalani adalah delapan semester, bukan karena
tidak naik kelas, tetapi memang sistemnya sudah diatur demikian. Bagi siapapun
yang masuk hanya pada jenjang SLTA saja maka wajib menyelesaikannya dalam
jangka waktu empat tahun atau setara dengan delapan semester.
Sisa tiga semester setelah penobatan pelajar
berdedikasi terbaik. Ada rasa cemas yang menggelayut di dasar kalbu, ingin
segera menyelesaikan studi yang cukup panjang tetapi masih bingung kemana jalan
yang harus ditempuh setelah itu. Banyak sekali kampus-kampus ataupun lembaga
yang mempromosikan perguruan tinggi kepada saya dan teman-teman se-angkatan
saat itu. Mulai dari perguruan tinggi lokal sampai kepada perguruan tinggi
mancanegara dengan bermodalkan skill berbahasa asing tentunya.
Saya selalu mengikuti setiap sesinya dengan
antusias, menganggap setiap kampus yang sedang memberikan penjelasan itu adalah
peluang. Saya manfaatkan hampir semua peluang itu, saya daftarkan diri saya ke
hampir setiap kampus yang datang untuk promosi. Jangan tanyakan jurusan, saya
memilih jurusan yang berbeda pada setiap kampus tersebut. Namun pilihan jurusan
tersebut masih dalam koridor kesukaan saya. Disebut suka karena merasa ada
ketertarikan saat mempelajarinya di kelas, meski tidak menutup kemungkinan
ketika di perkuliahan suasana dan levelnya akan berbeda. Hanya ada tiga pilihan
jurusan yang saya incar saat itu; ekonomi/akuntansi, bahasa inggris, dan matematika.
Setelah mendaftar, saya baru berpikir,
bagaimana biayanya. Apakah memungkinkan jika saya kuliah sambil bekerja? Apakah
saya sanggup bertahan dan memenuhi kebutuhan saya selama kuliah? Berbagai
pertanyaan tentang pembiayaan mulai muncul setelah melakukan pendaftaran.
Sampai tiba lagi pertolongan Allah untuk yang ke sekian kalinya. Saat itu saya
menerima informasi beasiswa melalui Kepala Sekolah. Jika boleh saya sebut,
beasiswa itu adalah Beasiswa Santri Berprestasi. Beasiswa ini sangat familiar
di kalangan santri masa kini, karena sudah banyak alumni yang berhasil lolos
dan sukses di dalam maupun luar negeri dengan segudang prestasinya. Namun
sayangnya saya bukan salah satu dari sekian banyak alumni yang dimaksud.
Setelah informasi itu saya dapatkan, saya mengajak
teman yang lain untuk turut mendaftar. Kami mengurus berkas dan menyerahkannya
langsung ke Kantor Kementerian Agama Provinsi Banten. Singkat cerita, berkas
saya diserahkan terlambat. Pihak Kemenag hanya memberikan satu peluang saja
kepada satu dari sekian siswa yang mendaftar. Satu siswa itu bukan saya,
melainkan teman saya. Tes untuk beasiswa tersebut gagal saya ikuti. Kegagalan
itu masih basah, kemahabaikan Allah kembali saya dapatkan bahkan sebelum saya
keluar dari gedung Kemenag.
Pimpinan Pondok mengabari lewat telepon bahwa
ada beasiswa lain yang masih bisa diusahakan. Saya pulang dari Kemenag, saya
pelajari beasiswa yang dimaksud. Halaman depan dari satu bundel panduan itu
bertuliskan “Beasiswa Pendidikan Miskin dan Berprestasi”. Ya, disingkat menjadi
bidikmisi. Saat itu adalah saat pertama kali beasiswa tersbut diadakan. Banyak
pilihan kampus negeri ternama yang ada di list, tetapi tidak semua jurusan yang
ada di kampus tersebut membuka beasiswa. Maka yang saya incar adalah
jurusannya, tidak peduli kampusnya di mana. Saya dengan sahabat saya saat itu
memutuskan untuk memilih jurusan ekonomi di Universitas Airlangga Surabaya.
Namun Allah berkehendak lain, entah apa yang akan terjadi jika saya memaksakan
kehendak saya saat itu, yang jelas saya mencoba mengikuti saran dari Kyai saya
yaitu memilih kampus IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten yang sekarang sudah
menjadi UIN sebagai kampus tujuan untuk mendaftar bidikmisi. Jurusan yang
tersedia tidak banyak, hanya ada lima pilihan jurusan, kelimanya bukan jurusan
yang semula saya targetkan. Bahasa dan Sastra Arab adalah salah satu jurusan
yang tersedia dan saya pilih. Empat jurusan lainnya adalah Tafsir Hadits,
Akidah Filsafat, Sejarah Peradaban Islam, dan Komunikasi Penyiaran Islam.
Alur pendaftarannya seperti biasa,
mengumpulkan berkas lalu menyerahkannya dalam satu bundel. Berkas diserahkan,
seleksi tahap pertama selesai. Selang beberapa waktu, Pak Kyai memanggil tiga
dari delapan orang yang mendaftar. Salah satu di antara ketiga orang siswa itu
adalah saya. Beliau mengabarkan bahwa saya dan dua teman saya yang dipanggil
itu lolos seleksi tahap satu dan diminta untuk menyiapkan seleksi tahap
berikutnya. Syukur di dalam hati tiada henti bermuara kepada Ilahi, setelah
syukur terucap dari lidah yang penuh harap.
Untuk pertama kalinya, saya pergi menggunakan
moda transportasi kereta api agar sampai ke kampus tersebut guna mengikuti
seleksi tahap berikutnya, yaitu wawancara. Setelah itu sampai saat ini, saya
mesti berterima kasih kepada Pak Kyai atas jasanya merekomendasikan kepada saya
beasiswa tersebut, juga kepada kedua orang tua saya atas doa-doanya yang tak
pernah terputus. Alhamdulillah, Allah meridhoi saya untuk menjadi mahasiswa
jurusan Bahasa dan Sastra Arab IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten di tahun
2010 melalui jalur bidikmisi yang rangkaian tesnya hanya sampai pada tahap
wawancara tadi, dan lulus di tahun 2014 dengan yudisium cumlaude. Semoga
hal ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Salam hangat, Siti Mulyani.
Komentar
Posting Komentar