Salah Naik Kereta
Satu tahun yang lalu, situasi hiruk gelombang di stasiun Rangkasbitung lebih
riak dari biasanya. Meski bingung berselimut dalam fikir, namun raga tak
hiraukan sebabnya, karena deretan antri pembelian tiket yang saya tuju sudah
mulai saya pijaki.
KA Kalimaya yang
saya pilih untuk tujuan stasiun Serang. Ketika tiket seharga 15ribu itu telah
menempel pada jemari saya, tiba-tiba seorang petugas yang berada di samping
saya membisik:
“Di peron 3 ya de’...”
“Iya pak” (jawab saya singkat dengan sedikit pandang sebagai tanda terimakasih
atas informasinya dan sambil melangkahkan kaki memberikan giliran kepada mereka
yang berjejer di belakang saya).
Bergegas saya
mencari celah badan stasiun yang masih bisa untuk saya istirahatkan sejenak
beban pikul dan jinjing saya. Setelah saya soroti seluruh celah dengan
pandangan yang masih mencuatkan gedung tanya yang cukup tinggi yang sebenarnya
ingin ditebas oleh jawaban, akhirnya saya pun memilih celah yang terletak rapat
dengan pagar pembatas antara tempat antrian dan tempat tunggu calon penumpang.
Waktu yg
tertera pada tiket yang masih saya genggam (dengan kondisi terlipat empat dan
sudah tidak rapi lagi karena genggamannya saya satukan dengan genggaman tas
yang akan saya pakai untuk kuliah yang berisi berbagai perlengkapan ringan
untuk saya gunakan selama beberapa hari di Serang, sedangkan perlengkapan lainnya
saya pikul di rangsel saya yang masih setia menempel di punggung saya yang baru
membaik namun masih dalam masa pemulihan setelah kambuh di bulan yg lalu,
akibat dari kecelakaan 4 tahun yg lalu) itu adalah pukul 11:01, sedangkan saat
itu jarum jam yang menempel pada pergelangan tangan saya masih menunjukkan
pukul 10:36.
Karena rasa
khawatir akan keterlambatan saya untuk mengikuti perkuliahan itu sangat kuat, maka
setelah saya melihat hamburan mereka yang tiba-tiba menyerbu loket atas
himbauan petugas yang semakin membuat saya bingung, akhirnya saya menyeret kaki
saya beserta tubuh dan bebannya untuk menaiki kereta yang sudah berdiam menunggu
di peron 3 sejak sebelum saya menerima tiket. Sambil berniat untuk menanyakn
arah kereta itu kepada petugas yang sedang berada di bawah pintu gerbong, tepat
sebelah kiri arah pandang mata saya. Namun sayang, Tuhan tak mengizinkan saya
dan dia berdiri bersama di tempat dia berdiri saat saya melihat, saya merasa
dihindari. Apalah daya untuk mengejar meski dia mengayuhkan kakinya dengan santai. Sendatan nafas akibat beratnya pikulan dan jinjingan
beban melarang saya untuk terus mengikuti langkahnya. Padahal sebelumnya dia
cukup lama berdiri tepat di tmpat saat itu saya berdiri. Dan akhirnya, saya pun terdorong untuk menaiki kereta yang pintunya telah terbuka di samping atas saya.
“Kereta masih kosong, alhamdulillah dapet kursi untuk duduk...”
gumam saya dalam hati.
Namun, di tengah ketenangan
duduk saya, tiba-tiba saya tersentak oleh suara dari arah depan yang terhalang oleh beberapa kursi:
“Tut tut tut,
naek kereta api... ke Kebayoran...”
Berkali-kali di ulang oleh
sang anak dan ibunya, sebelum kereta diberangkatkan.
Hati saya mulai was-was, terlintas dalam benak saya hendak meninggalkan tempat
duduk itu dan bergegas turun, namun pikran saya mengingat ucapan petugas tadi ketika
beli tiket (di peron 3 ya dek). Kereta yang sedang saya tumpangi juga kan peron
3. Akhirnya saya tidak menghiraukan nyanyian anak kecil tadi itu. Penumpang mulai
ramai berdatangan dan membicarakan topik yang sama; tentang kereta yang ditahan
di stasiun Serpong akibat terjadinya demo di daerah sekitar sana; yang menyebabkan
keberangkatan kereta tujuan akhir stasiun Angke tertunda; juga yang menyebabkan
padatnya stasiun Rangkasbitung melebihi dr biasanya.
“Akhirnya, ada
juga yang menebas pertanyaan saya” ungkap saya dalam hati saat mendengarnya...
Jam 10:47 kereta
yang saya tumpangi mulai diberangkatkan setelah penumpang memadati puluhan
tempat duduk di setiap gerbongnya. Saya duduk di samping pria yang diperkirakan
sudah berkepala tiga. Hati saya semakin was-was, mengingat nyanyian anak kecil
tadi, jam pemberangkatan yang lebih cepat dibanding dengan yang tertera pada
tiket, dan area yang dilintasi oleh kereta itu. Kekhawatiran saya semakin tinggi
melambung. Sampai pada akhirnya saya benar-benar yakin bahwa kereta yang saya
tumpangi itu salah arah. Dengan tergopoh-gopoh, saya meninggalkan tempat duduk
saya menuju pintu gerbong, beruntung ada petugas yang tidak menghindar, lalu saya
tanyakan arah kereta melintas:
“Pak, kereta ini arah ke mana?” (pertanyaan ini sengaja saya tujukan kepada petugas yang sedang
menyendiri karena saya gak mau bertanya sama bapak-bapak yang ada di samping saya
tadi, alasannya saya gak mau dibentak dan diperolok karena kecerobohan saya),
“Angke” jawabnya singkat
“Oh, bukan yang ke Merak ya pak?”
“Bukan”
Dengan nada gemetar saya meminta:
“Ya sudah kalau begitu pak, saya turun di sini saja” kebetulan saat itu kereta telah tiba di stasiun Citeras,
“Nanti aja
turunnya di stasiun
Maja (stasiun yang ada setelah Citeras), nanti di sana ada yg langsung ke Merak”,
Dengan menghela nafas lega, saya menjawab:
“Oh, iya pak. Trimakasih”...
Usai percakapan
singkat itu, saya tidak beranjak mengarahkan kaki ke tampat duduk semula. Saya hanya
menggeserkan kaki saya dua langkah ke samping kiri dari posisi saya berdiri ketika
bertanya kepada petugas itu.
Tak lama kemudian, kereta pun berhenti dan saya bergegas mendekati mulut pintu gerbong yang hanya beberapa langkah dari arah kiri tempat saya berdiri.
“Mati saya” caci hati saya pada diri ini ketika melihat jarak antara dasar yang sedang saya pijak dan dasar krikil kasar yang harus saya sampaikan telapak padanya.
Saya harus meloncat dengan ketinggian yang sama tinggi dengan ukuran badan saya, dengan beban pikul dan jinjing seberat setengah badan saya, dan telapak yang beralaskan highills meski hanya beberapa centimeter ukuran tingginya. Namun kekhawatiran dan keterpaksaan saya mendorong
kuat diri saya untuk tetap meloncat dengan sesegera mungkin. Akhirnya, hasil
loncatan saya pun membuahkn sedikit gelincir kaki dan tibanan dahsyat untuk punggung
saya dari rangsel yang ikut terapung namun masih berada di punggung saat saya
meloncat.
Saat tiba di
loket yang tanpa antrian:
“Serang, Bu. Satu”,
“Empat ribu”
ujar wanita ramah dengan manis senyumnya itu sambil memberikan tiket,
“Trimakasih, Bu” timbal saya dengan memberikan alat
tukar.
Jam 12:40
akhirnya saya sampai di stasiun
Serang. Satu jam lebih lambat jika dibandingkan dengan kedatangan KA Kalimaya yang gagal saya tumpangi, yang tiketnya masih saya simpan di
kantong baju saya.
Tulisan ini sudah pernah diterbitkan oleh Majalah Sabrina
Cerita selanjutnya mana??? Di tunggu
BalasHapusCerita selanjutnya di tunggu,,, ayooo buruan
BalasHapus